tentang SERIGALA SEPUTIH ES SALJU YANG DINGIN

SERIGALA SEPUTIH ES SALJU YANG DINGIN

Aku memang tak bisa menyusun kata-kata, tapi apa yang aku lihat adalah benar. Jasadnya terbaring di hadapanku. Beku salju membuat tatapannya lebih dingin. Darahnya mengeras oleh rendahnya suhu di sini.
Siang tadi tak tercium sedikitpun bau mayat di sini. Mungkin karena sedang turun salju. Walaupun aku sudah biasa melihat mayat, tetapi aku kasihan terhadap yang satu ini. Mengapa dia harus terbaring di sini, dimana banyak serigala buas seperti aku.



Sekarang sudah malam dan aku masih tetap memerhatikannya. Tak ada yang bisa di ajak bicara, aku menggaruk-garukkan kukuku ke tumpukkan salju. berharap orang itu bangun dan mengajakku bercanda, tapi tak mungkin. Berharap saja. Gelap sekali di sini di tambah rimbunan pohon yang mengelilingi kami. Sayup-sayup terdengar gerak-gerik dari balik pohon. hewan malampun tak mungkin menahan diri. Bulu putihku melindungiku dari cekaman angin malam. Aku masih duduk-duduk di samping orang ini. Sedikit mengantuk, tapi aku tak bisa tidur. Masih terjaga.

Dari balik pohon aku melihat sepasang mata. Mata yang mirip denganku. Berjalan perlahan ke arahku. Tatapan kejam dan menyeramkan yang tak membuatku gentar. Pejantan dengan taring dan kuku yang tajam. Hanya warna bulu yang membedakan kami.
“Sedang apa kau di sini Eric?” Taringnya yang ganas bergerak.
“Bukan urusanmu,” acuhku.
“Seperti biasa?” Tanyanya, seperti selalu tahu pikiranku.
“Begitulah,” jawabku.
Memang selalu begitu saat kami bertemu. Lambang bulu kami begitu pekat. Bulunya yang hitam sudah tergambar dari wajahnya. Orang itu tak bisa berkomentar apa-apa.
“Apa yang akan kau lakukan kepadanya sekarang?” Tawanya kecil.
“Bukan urusanmu,” jawabku.
Rudy memang selalu kesal saat aku melakukan ini. Aku sendiri berpikir bahwa ini adalah hal bodoh, tapi aku sendiri tidak terlalu bodoh.

Aku tahu sebentar lagi kawanan bulu hitam akan datang kemari, tapi entah kenapa untuk sekali ini aku tak ingin menyerahkannya begitu saja. Aku ingin mencoba melindunginya. Aku tak ingin menyesal.
Sejak tadi Rudy telah melolong dan kawan-kawannya sudah lumayan terkumpul. Aku tak ingin kelihatan gentar. Aku menatap mata si bulu hitam yang berhadapan denganku. Mencoba mengucapkan, “Sekali ini saja, tolong biarkan aku sendiri.”

Sepertinya tatapanku dipatahkan oleh kepungan makhluk-makhluk hitam yang haus darah.
“Seharusnya kau sadar, bahwa kau cuma sendiri,” kata Rudy tajam, menusuk tulangku yang paling kokoh.
“Memang aku cuma sendiri. Seharusnya aku takut, tapi aku coba bulatkan tekad,” balasku menggores denyut nadinya. “Mungkin sekali ini aku tak perlu menyesal.”
“Omonganmu setajam cakarmu,” tangkisnya. Aku semakin di kepung. Geraman kawanan bulu hitam ini semakin mencekam suhu udara malam ini. Mayat itu aku geser hingga kami tersudut ke sebuah pohon. Akupun mempertahankan posisiku.
Aku tahu pasti, kali ini bukan mayat ini yang di incar, tetapi aku.

Sudah sebulan tak ada mayat seperti ini. Aku kesepian. Salju tak kunjung berhenti walau tak ada mayat yang sempat menemaniku. Hanya pohon dan tumpukkan salju yang bisa aku ajak bermain. Salju yang warnanya sama denganku membuatku sedikit lebih nyaman. Setidaknya sampai aku melihat jasad seseorang lagi. Tak berdaya di hadapan kawanan Rudy sudah seringkali kurasakan. Tak banyak yang bisa kulakukan dengan sepasang mataku ini. Sampai saat ini, saat bulan purnama naik ke puncak tertingginya. Sampai aku berdiri melindungi tubuh mati yang bahkan tak membantuku ini.

Serentak mereka melompat ke arahku. Aku langsung memanjat pohon di belakangku, kemudian lompat keluar dari kepungan mereka. Lari sudah percuma, aku tetap bertahan membelakangi mereka. Makhluk-Makhluk berbulu hitam itu lalu menyerangku. Satu-persatu cakaran menerpaku seperti ombak. Aku hampir tak berdaya memikirkannya, tapi tubuhkku belum takluk. Nafsu haus darah mulai menekan. Gigitan dan cakaran sudah menghujaniku. Tubuhku sudah tak seputih tadi, tapi salju terus mencoba menutupinya.
Keganasanku tetap tak bisa mengalahkan mereka. “Tolonglah, untuk satu malam ini, jangan ganggu aku,” aku tak percaya aku meminta tolong.

Seperti tak ada yang mendengarnya, serangan kembali menerjang. Sudah tak ada lagi waktu bicara. Hidup atau mati. Ini telah ditentukan dari awal. Satu hidup, yang lain akan mati. Aku hanya bertahan semampuku.
Pandanganku sudah setengah-setengah. Kelihatannya taringku makin menumpul. Aku berusaha mengokohkan otot-otot kakiku kembali, tapi sedikit percuma. Terkaman terakhir membuatku ambruk. Hampir tenggelam, setidaknya mataku belum menutup.

Samar-samar dari tempatku terjatuh, aku masih bisa melihat sesuatu. Walaupun telah larut malam, tapi siluet itu dapat ku lihat dengan mataku yang sudah terambil fokusnya. Bayangan itu terlihat dengan dua kaki. Seharusnya sudah tertebak, tapi aku belum ingin percaya.Tak perlu ku coba tebak. Entah apa yang akan pria itu lakukan dengan keadaanku sekarang. Semakin dekat bayangan itu bercampur dengan para makhluk hitam berkaki empat yang mengepungku. Hewan-hewan itu terlihat takluk kepadanya dan kemudian membuka jalan. Setidaknya itu yang tergambar dari mataku. Dia terus mendekatiku hingga kakinya terpampang di hadapanku. Aku sedikit mencoba mencari mukanya.
“Masih bolehkah aku bertemu denganmu?” Ucapnya menyadarkanku.
Ah, sudah kuduga, dia hanya rohnya. Jasadnya masih ada di balik pohon itu. “Tidak, aku tak akan mengatakan tidak.”

Bulan masih menemani malam kami. Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan. Orang itu belum melangkah lagi. Kakinya sedikit bergeser, memperlihatkan tubuhnya yang didekatkan kepadaku.
“Tenang saja, aku belum tidur,” ujarku. Perlahan-lahan penglihatanku hilang. Kelopak mataku semakin menurun.
“Apa kau lapar?” Dia merogoh saku.
“Belum,” jawabku.
“Aku punya sedikit, kau mau?” Dia menyodorkannya ke mulutku.
“Kau tak akan membaginya dengan mereka?” Tanyaku.
“Sedikit,” jawabnya.

Dalam hatinya, aku merasa menang. Ku coba berdiri sedikit. Bayangan itu mungkin sudah pergi. Aku membuka kelopak mataku yang sempat tertutup. Rudy dan kawanannya masih menghadap ke mataku, tetapi sepertinya mereka sudah bosan di sini. Aku bersikap biasa sambil membelakangi mereka. Tak ada yang mengikutiku. Jejakku mungkin hilang, mungkin tiada. Walaupun aku sudah terjatuh dan tergores oleh mereka, mungkin,aku sudah menang.
Previous
Next Post »
0 Komentar