CERITA KEHIDUPUAN BUNGA SETAHUN
Kota bengawan, Desember 2014
Gerimis bukan lagi gerimis. Angin yang bertiup pun tak cukup hanya dibilang dingin. Alam beralih peran. Terik panas yang biasa menghujam kota Bengawan ini pun, lebih memilih untuk menjadi mendung. Hujan. Saat hitam menggelayuti awan. Dan rerintikan air bergantian menghujam tanah. Berisik. Suaranya menimpa atap rumah. Penghujung tahun. Ya… inilah Desember.
♥♥♥
“Ck, hujan lagi.” Keluh seorang gadis berambut panjang setengah punggung, yang baru saja keluar dari kelasnya.
“Kenapa? Nggak bawa jakel?” tanya temannya.
“Bukan. Nggak suka aja.”
“Hm?” teman gadis itu melangkah ke arah kelas yang memang berada di lantai dua. Kemudian, menengadahkan wajah menatap langit. Sesekali tangannya merasakan air hujan sambil diulurkan. “Ada ya, orang yang benci hujan?”
“Ada.” Gadis berambut panjang itu melangkah meninggalkan temannya, “aku.”
“Emangnya kenapa? Jadi galau yaaa?”
“Aku nggak suka hujan bukan karena apa-apa.”
Gerimis bukan lagi gerimis. Angin yang bertiup pun tak cukup hanya dibilang dingin. Alam beralih peran. Terik panas yang biasa menghujam kota Bengawan ini pun, lebih memilih untuk menjadi mendung. Hujan. Saat hitam menggelayuti awan. Dan rerintikan air bergantian menghujam tanah. Berisik. Suaranya menimpa atap rumah. Penghujung tahun. Ya… inilah Desember.
♥♥♥
“Ck, hujan lagi.” Keluh seorang gadis berambut panjang setengah punggung, yang baru saja keluar dari kelasnya.
“Kenapa? Nggak bawa jakel?” tanya temannya.
“Bukan. Nggak suka aja.”
“Hm?” teman gadis itu melangkah ke arah kelas yang memang berada di lantai dua. Kemudian, menengadahkan wajah menatap langit. Sesekali tangannya merasakan air hujan sambil diulurkan. “Ada ya, orang yang benci hujan?”
“Ada.” Gadis berambut panjang itu melangkah meninggalkan temannya, “aku.”
“Emangnya kenapa? Jadi galau yaaa?”
“Aku nggak suka hujan bukan karena apa-apa.”
Temannya mengernyitkan kening, sambil mengikuti langkah gadis itu yang semakin cepat menuruni anak tangga, “terus? Kenapa, dong? Kamu aneh. Kayak Kugy di novel Perahu Kertas!”
“Hujan itu berisik.”
Desember 2014
“Hobi kok hujan-hujanan! Masuk! Nanti sakit, terus nggak masuk sekolah! yang repot bukan cuma kamu! Mamah juga repot!”
Omelan wajar itu keluar dari mulut seorang ibu setengah baya kepada putrinya yang masih saja di luar rumah meski hujan mulai deras. Tak tahan dengannya, gadis yang diomeli itu pun masuk ke dalam rumah sambil tergopoh-gopoh dan segera mengambil handuk.
“Sekali-kali, biarin deh, Mah. Anak mamah yang satu ini agaknya belum pernah dibiarin hujan-hujan loh!” ujarnya, masih sibuk dengan rambut panjangnya yang kuyub.
“Udah kewajiban seorang ibu mengingatkan anaknya yang bandel kayak kamu, to?”
“Tapi, maaah…”
“Nggak ada tapi-tapian. Dasar, bawel. Cepet mandi! Mamah masakin balado telur kesukaan kamu, nih..”
“Asiiiik… makasih mamaaah…”
Lila. Gadis periang pecinta hujan. Bersamanya, ia yakin, bahwa seluruh gundah yang menderanya akan ikut luluh. Semua bermula saat dirinya SD. Saat itu sudah saatnya pulang, Lila pun sudah dijemput sang ayah. Namun, berjam-jam ia dan ayahnya menunggu hujan reda di sekolahnya. Karena Lila yang cerewet itu mulai merajuk, ayahnya bertekat untuk menembus hujan dan mengayuh sepeda balapnya kencang-kencang agar putrinya tidak terlalu kebasahan. Walaupun sebenarnya sama saja. Lila tetap basah kuyub. Tapi, ia sangat menikmatinya. Membonceng ayah dengan sepeda balap dan diguyur hujan itu… menenangkan. Lila suka ketenangan.
Lila menghentikan aktivitasnya menyalin catatan Kumi, temannya. Akhir-akhir ini ia memang sering kelewatan banyak materi sekolah karena harus ikut beberapa lomba kesenian di sekolahnya. Jadi, memang sepintar-pintarnya Lila harus membagi waktu dan mengejar materinya yang tertinggal. Masih di Desember yang sama, dan di bawah guyuran langit mendung yang sama, hujan mulai menderas. Lila tersenyum menatap buliran air hujan yang berebutan menitik di kaca jendelanya. Kalau tidak ingat hari mulai gelap, ia pasti sudah berlari keluar dan bermain dengan hujan.
“BRAK!!”
Ketenangan Lila buyar, saat suara meja makan yang digebrak terdengar. Tak lama setelahnya suara ayahnya ikut menggema seantero rumah mungil Lila. Gadis itu mulai takut. Apalagi saat ibunya ikut mengadu mulut. Ini kali pertama Lila mendengar pertengkaran orang tuanya. Pedih. Dan bersamaan dengan air hujan, buliran bening air mata Lila menitik juga.
Kejadian seperti itu berulang kali dialami Lila. Hingga gadis itu mulai frustasi. Ia yang menyukai ketenangan selama belajarnya pun berubah menjadi Lila yang harus menyumpal lubang telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan volume super keras agar suara-suara orang tuanya itu teredam. Namun, Lila jadi jengah sendiri, ia rindu ketenangannya dulu… ini terlalu berisik. Lubuk hati terdalamnya tidak menyukai ini.
“Ah!” teriak Lila di kelas, sontak penghuni kelas yang lain pun terkejut. Untung, Pak Dani baru saja keluar kelas.
“Lil? Kamu ngapain??” tanya Kumi.
“Kenapa hujan lagi sih! Berisik banget!”
“Hah? Kamu kenapa?”
“Nggak tau. Aku benci hujan. Suara airnya berisik!”
“Hei, iya oke, kalo kamu nggak suka hujan, tapi nggak perlu teriak-teriak kayak begini kan?? Kalau Pak Dani dengar gimana?? Malu juga diliatin…”
“Ck, ah! Kamu juga sama berisiknya!” Lila tak kuasa menahan emosi. Dibentaknya Kumi. Gadis yang dibentak langsung menciut, pasalnya sahabatnya itu belum pernah semarah ini. Apalagi untuk urusan sepele, seperti saat ini. Tapi, bagi Lila ini bukan hal sepele. Kepalanya sedang benar-benar mau pecah, rasanya. Orang tuanya bertengkar lagi semalam, dan yang kali ini lebih parah.
“Terserah kamu, Lil. Kalau emang lagi badmood, jangan nyalah-nyalahin hujan seenaknya sendiri gitu… semuanya nggak selamanya salah kan? Kamu pun belum tentu benar!”
Diam. Lila menelan bulat-bulat ucapan Kumi. Menyadari kebodohannya.
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Desember 2015
“Nah, udah reda kan?”
Lila bangun dari lamunannya, kemudian melepas headset di telinganya. Benar kata Kumi. Hujan sudah reda. Matahari mulai menyembul, menilik ranah buminya dengan sinar setengah cerah. Aromanya juga berubah. Agaknya tanah mulai melepas dahaga.
Kedua mata Lila tertuju pada Kumi yang entah sejak kapan sudah berjongkok di depan green house sekolah. Memandangi jejeran bunga yang bentuknya menyerupai dandelion. Hanya saja ukurannya lebih besar dan warnanya kemerahan. Lila tak tahu apa itu, yang ia yakin, bunga aneh itu tidak mungkin terbang seperti dandelion saat ditiup. Haha.
“Apaan nih? Siapa yang menanam beginian? Kamu?” tanya Lila setelah mendekati Kumi.
“Aduuuh, Lilaaa.. kamu nggak up to date banget sih? Kamu lupa ini bulan apa?”
“Apa? Desember? Terus? Kok kamu nggak nyambung sama omongan aku sih, Kum?”
“Yee.. Kamu itu yang nggak nyambung! Sini jongkok! Biar aku jelasin!”
Lila mengikuti perintah Kumi.
“Ini namanya Bunga Desember. Bunga yang paling paham dengan musim. Dia bahkan tahu betul bulan apa sekarang.”
“Emangnya dia tumbuh sendiri gitu?” tanya Lila, polos.
“Iya!” jawab Kumi, “bunga ini cuma tumbuh sekali dalam setahun. Tanpa ada yang menanamnya, Lil. Mereka tumbuh berjejer rapi. Ya.. di bulan Desember. Sama seperti namanya. Manis, kan? Menurutku sih, bunga ini istimewa. Penyabar. Dia pasti menunggu-nunggu datangnya bulan Desember kan? Bunga ini juga membawa kebahagiaan. Setidaknya, siapapun yang melihat bakal mencelos hatinya. Dan mereka akan berseru senang, ‘akhirnya, bunganya tumbuh!’ kalau aku jadi bunga Desember, pasti bakalan bahagia banget. Kehadirannya ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
Lila, gadis berambut panjang setengah punggung itu tidak bergeming mendengarkan ucapan Kumi. Kemudian hati dan otaknya yang cerdas mulai menyimpulkan.
“Hujan itu berisik.”
Desember 2014
“Hobi kok hujan-hujanan! Masuk! Nanti sakit, terus nggak masuk sekolah! yang repot bukan cuma kamu! Mamah juga repot!”
Omelan wajar itu keluar dari mulut seorang ibu setengah baya kepada putrinya yang masih saja di luar rumah meski hujan mulai deras. Tak tahan dengannya, gadis yang diomeli itu pun masuk ke dalam rumah sambil tergopoh-gopoh dan segera mengambil handuk.
“Sekali-kali, biarin deh, Mah. Anak mamah yang satu ini agaknya belum pernah dibiarin hujan-hujan loh!” ujarnya, masih sibuk dengan rambut panjangnya yang kuyub.
“Udah kewajiban seorang ibu mengingatkan anaknya yang bandel kayak kamu, to?”
“Tapi, maaah…”
“Nggak ada tapi-tapian. Dasar, bawel. Cepet mandi! Mamah masakin balado telur kesukaan kamu, nih..”
“Asiiiik… makasih mamaaah…”
Lila. Gadis periang pecinta hujan. Bersamanya, ia yakin, bahwa seluruh gundah yang menderanya akan ikut luluh. Semua bermula saat dirinya SD. Saat itu sudah saatnya pulang, Lila pun sudah dijemput sang ayah. Namun, berjam-jam ia dan ayahnya menunggu hujan reda di sekolahnya. Karena Lila yang cerewet itu mulai merajuk, ayahnya bertekat untuk menembus hujan dan mengayuh sepeda balapnya kencang-kencang agar putrinya tidak terlalu kebasahan. Walaupun sebenarnya sama saja. Lila tetap basah kuyub. Tapi, ia sangat menikmatinya. Membonceng ayah dengan sepeda balap dan diguyur hujan itu… menenangkan. Lila suka ketenangan.
Lila menghentikan aktivitasnya menyalin catatan Kumi, temannya. Akhir-akhir ini ia memang sering kelewatan banyak materi sekolah karena harus ikut beberapa lomba kesenian di sekolahnya. Jadi, memang sepintar-pintarnya Lila harus membagi waktu dan mengejar materinya yang tertinggal. Masih di Desember yang sama, dan di bawah guyuran langit mendung yang sama, hujan mulai menderas. Lila tersenyum menatap buliran air hujan yang berebutan menitik di kaca jendelanya. Kalau tidak ingat hari mulai gelap, ia pasti sudah berlari keluar dan bermain dengan hujan.
“BRAK!!”
Ketenangan Lila buyar, saat suara meja makan yang digebrak terdengar. Tak lama setelahnya suara ayahnya ikut menggema seantero rumah mungil Lila. Gadis itu mulai takut. Apalagi saat ibunya ikut mengadu mulut. Ini kali pertama Lila mendengar pertengkaran orang tuanya. Pedih. Dan bersamaan dengan air hujan, buliran bening air mata Lila menitik juga.
Kejadian seperti itu berulang kali dialami Lila. Hingga gadis itu mulai frustasi. Ia yang menyukai ketenangan selama belajarnya pun berubah menjadi Lila yang harus menyumpal lubang telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan volume super keras agar suara-suara orang tuanya itu teredam. Namun, Lila jadi jengah sendiri, ia rindu ketenangannya dulu… ini terlalu berisik. Lubuk hati terdalamnya tidak menyukai ini.
“Ah!” teriak Lila di kelas, sontak penghuni kelas yang lain pun terkejut. Untung, Pak Dani baru saja keluar kelas.
“Lil? Kamu ngapain??” tanya Kumi.
“Kenapa hujan lagi sih! Berisik banget!”
“Hah? Kamu kenapa?”
“Nggak tau. Aku benci hujan. Suara airnya berisik!”
“Hei, iya oke, kalo kamu nggak suka hujan, tapi nggak perlu teriak-teriak kayak begini kan?? Kalau Pak Dani dengar gimana?? Malu juga diliatin…”
“Ck, ah! Kamu juga sama berisiknya!” Lila tak kuasa menahan emosi. Dibentaknya Kumi. Gadis yang dibentak langsung menciut, pasalnya sahabatnya itu belum pernah semarah ini. Apalagi untuk urusan sepele, seperti saat ini. Tapi, bagi Lila ini bukan hal sepele. Kepalanya sedang benar-benar mau pecah, rasanya. Orang tuanya bertengkar lagi semalam, dan yang kali ini lebih parah.
“Terserah kamu, Lil. Kalau emang lagi badmood, jangan nyalah-nyalahin hujan seenaknya sendiri gitu… semuanya nggak selamanya salah kan? Kamu pun belum tentu benar!”
Diam. Lila menelan bulat-bulat ucapan Kumi. Menyadari kebodohannya.
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Desember 2015
“Nah, udah reda kan?”
Lila bangun dari lamunannya, kemudian melepas headset di telinganya. Benar kata Kumi. Hujan sudah reda. Matahari mulai menyembul, menilik ranah buminya dengan sinar setengah cerah. Aromanya juga berubah. Agaknya tanah mulai melepas dahaga.
Kedua mata Lila tertuju pada Kumi yang entah sejak kapan sudah berjongkok di depan green house sekolah. Memandangi jejeran bunga yang bentuknya menyerupai dandelion. Hanya saja ukurannya lebih besar dan warnanya kemerahan. Lila tak tahu apa itu, yang ia yakin, bunga aneh itu tidak mungkin terbang seperti dandelion saat ditiup. Haha.
“Apaan nih? Siapa yang menanam beginian? Kamu?” tanya Lila setelah mendekati Kumi.
“Aduuuh, Lilaaa.. kamu nggak up to date banget sih? Kamu lupa ini bulan apa?”
“Apa? Desember? Terus? Kok kamu nggak nyambung sama omongan aku sih, Kum?”
“Yee.. Kamu itu yang nggak nyambung! Sini jongkok! Biar aku jelasin!”
Lila mengikuti perintah Kumi.
“Ini namanya Bunga Desember. Bunga yang paling paham dengan musim. Dia bahkan tahu betul bulan apa sekarang.”
“Emangnya dia tumbuh sendiri gitu?” tanya Lila, polos.
“Iya!” jawab Kumi, “bunga ini cuma tumbuh sekali dalam setahun. Tanpa ada yang menanamnya, Lil. Mereka tumbuh berjejer rapi. Ya.. di bulan Desember. Sama seperti namanya. Manis, kan? Menurutku sih, bunga ini istimewa. Penyabar. Dia pasti menunggu-nunggu datangnya bulan Desember kan? Bunga ini juga membawa kebahagiaan. Setidaknya, siapapun yang melihat bakal mencelos hatinya. Dan mereka akan berseru senang, ‘akhirnya, bunganya tumbuh!’ kalau aku jadi bunga Desember, pasti bakalan bahagia banget. Kehadirannya ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
Lila, gadis berambut panjang setengah punggung itu tidak bergeming mendengarkan ucapan Kumi. Kemudian hati dan otaknya yang cerdas mulai menyimpulkan.
“Semua akan indah pada saatnya. Kesabaran selalu berbanding lurus dengan pencapaian. Kesabaran yang tulus akan membuahkan keberhasilan. Begitu pula sebaliknya. Dan ia yakin, masalah tak selamanya menjadi masalah. Ada saatnya semua akan berlalu. Seperti hujan di Bulan Desember yang mengantarkan ke sebuah bunga yang indah.
0 Komentar