SENYUMANMU HANYA UNTUKKU
esal… Marah… Tak terima…
Itulah yang kurasakan saat ini. Pagi ini, tepatnya ketika aku hendak ke sekolah, aku lagi-lagi aku bertengkar dengan ibuku. Ini perkelahian yang kesekian kalinya. Hampir tiap hari aku bertengkar dengan ibuku. Tak peduli baik siang maupun malam. Dan dengan topik yang itu-itu saja.
Itulah yang kurasakan saat ini. Pagi ini, tepatnya ketika aku hendak ke sekolah, aku lagi-lagi aku bertengkar dengan ibuku. Ini perkelahian yang kesekian kalinya. Hampir tiap hari aku bertengkar dengan ibuku. Tak peduli baik siang maupun malam. Dan dengan topik yang itu-itu saja.
Sebenarnya aku merasa enggan bila harus bertengkar dengannya. Toh, dia kan ibuku. Seseorang yang telah melahirkanku ke dunia ini. Namun apa hendak dikata, aku dan ibuku memang tidak cocok. Ibuku seorang wanita yang keras kepala. Segala apa yang dikatakannya harus dituruti. Dia tak suka bila perkataannya dibantah. Dan.. sifat keras kepalanya itu menurun kepadaku. Bisa kau bayangkan, bagaimana jadinya bila dua orang keras kepala -tanpa ada salah satunya yang ingin mengalah- disatukan, tentunya tidak cocok.
“Lisa, sudah ibu katakan, jangan makan snack di pagi hari. Cobalah kau makan roti dan mie-”
“Aku tidak suka roti,” Potongku sebelum ibu mulai mengomel.
“Kau memotong kalimatku?” tanyanya dengan nada yang ‘mulai’ ditinggikan. Emosinya mulai naik.
“Aku tidak suka roti,” Potongku sebelum ibu mulai mengomel.
“Kau memotong kalimatku?” tanyanya dengan nada yang ‘mulai’ ditinggikan. Emosinya mulai naik.
Wajahnya merah menahan marah.
Bila sudah seperti itu, ibuku hanya bisa mengelus dadanya sambil mengucapkan istighfar berkali-kali, untuk menenangkan hatinya. Aku langsung terdiam melihatnya. Aku secara tak sadar menyadari bahwa penyakit keras kepalaku kambuh lagi. Aku tak suka melihat ibu yang sedang bertingkah seperti itu. Aku khawatir. Aku khawatir penyakit jantungnya tiba-tiba kambuh.
Pip… pip…
Bunyi klakson bus sekolah mengagetkanku. Aku langsung cepat-cepat mengambil buku dan menyambar sebungkus snack di lemari makan. Sebelum berangkat aku sempat melihat ibuku yang geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Aku tersenyum kepadanya. Senyum penuh kemenangan. Setelah itu, aku berlari naik ke atas bus.
“Atom terdiri dari tiga unsur, yaitu proton, neutron. Dan electron..,” terang Bu Fatimah, guru Kimia, menjelaskan. Aku merasa bosan mendengarnya menjelaskan tentang materi pelajaran. Baru kali ini aku malas belajar kimia. Aku merasa gelisah. Tapi aku tak tahu apa yang menjadi sebab dari kegelisahanku. Aku seperti merasa cemas akan sesuatu hal. Tapi lagi-lagi aku tak tahu hal apa yang aku cemaskan.
Detik demi detik berlalu. Aku mencoba merebahkan kepalaku di atas meja. Untunglah jam pelajaran kimia akhirnya habis juga. Bu Fatimah mulai menyusun kembali barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Jam pelajaran berikutnya, matematika, gurunya Pak Anwar sedang sakit. Jadilah jam pelajaran terakhir hari itu adalah jam pelajaran kosong.
Ketika kepalaku menyentuh meja, tiba-tiba rasa kantuk menyerangku. Aku lalu mengambil tasku dan meletakkannya di meja. Menjadikannya sebagai bantal sementara.
Aku bermimpi. Aku memimpikan ibuku. Wajahnya bercahaya. Dan dia tersenyum kepadaku. Dia terlihat sangat cantik. Wajahnya cerah, tidak pucat seperti biasanya. Aku pun berjalan ke arahnya tapi, semakin lama aku berjalan aku merasa dirinya kian jauh. Aku lalu memutuskan untuk berlari. Naming, lagi-lagi aku tak dapat mencapainya. Aku menyerah. Aku menangis sambil berteriak memanggil namanya. Raut wajahnya tetap tak berubah. Wajahnya tetap terhias sebuah senyuman.
“Ibu!…” teriakku ke arahnya. Tapi dia tidak menjawab panggilanku.
“ibu! Ibu!!Ibbbuuuu!!!”
“Ibu!…” teriakku ke arahnya. Tapi dia tidak menjawab panggilanku.
“ibu! Ibu!!Ibbbuuuu!!!”
“Hey! Lo ngapain teriak-teriak manggil nama ibu lo? Ngigau ya?” Tanya Mita, teman sebangkuku sambil menahan senyum. Dia sedang menenteng tasnya. Rupanya sudah pulang. Kelas sudah kosong, tinggal kami berdua.
“Udah pulang?”
“Iya, dari tadi malah. Lo tidurnya nyenyak banget. Pake ngigau lagi. Hahahah…,” tawanya.
“Pulang yuk!” ajakku sambil menggandeng tangannya. Kami berjalan pulang bersama-sama. Rumah kami berdekatan.
“Udah pulang?”
“Iya, dari tadi malah. Lo tidurnya nyenyak banget. Pake ngigau lagi. Hahahah…,” tawanya.
“Pulang yuk!” ajakku sambil menggandeng tangannya. Kami berjalan pulang bersama-sama. Rumah kami berdekatan.
Selama perjalanan, kami berdua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku masih tak habis pikir, mengapa aku memimpikan ibu?. Aku heran mengapa tiap kali hendak ke arahnya, dirinya malah kian jauh. Tiba-tiba, aku merindukannya. Aku rindu ingin bertemu dan memeluknya. Kupercepat langkah kakiku untuk segera pulang. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan tante Farah, ibunya Mita. Wajahnya terlihat sedih. Sepertinya dia baru saja menangis. Lengkungan hitam, di bawah matanya menjadi tanda.
“Yang sabar ya, Lis,” ucapnya sambil memelukku. Dia memelukku dengan sangat erat. Lalu dia menatapku dengan tatapan penuh kesedihan.
“Lisa kenapa, ma?” Tanya Mita kepada mamanya.
“Kamu belum tahu?” Tanya tante Farah kepadaku. Aku mengangguk. “Kamu yang tegar ya, Lisa. Ibumu telah tiada. Dia ditemukan tidak bernyawa di teras depan rumahmu. Saya dan Ibu Ani lalu bergegas membawanya ke rumah sakit. Namun dokter hanya mengatakan bahwa ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini” terang tante Farah.
“Lisa kenapa, ma?” Tanya Mita kepada mamanya.
“Kamu belum tahu?” Tanya tante Farah kepadaku. Aku mengangguk. “Kamu yang tegar ya, Lisa. Ibumu telah tiada. Dia ditemukan tidak bernyawa di teras depan rumahmu. Saya dan Ibu Ani lalu bergegas membawanya ke rumah sakit. Namun dokter hanya mengatakan bahwa ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini” terang tante Farah.
Aku terkejut. Aku tak percaya dengan perkataan tante Farah. Aku berharap perkataannya itu bohong. Aku lalu berlari cepat-cepat ke arah rumah untuk memastikannya.
Di depan teras rumah, aku melihat segerombolan orang berpakaian hitam-hitam. Ketika mereka melihatku, air mata mereka langsung tumpah. Aku tak suka melihat mereka semua. Ketika aku sampai di ruang keluarga, aku melihat seorang manusia terbujur kaku disana. Wajahnya ditutupi sehelai kain. Di sampingnya, aku melihat seseorang yang sangat familiar bagiku. Dia ayahku. Dia masih menggunakan baju kerjanya.
Ayahku memeluk seseorang yang terbaring itu. Aku penasaran. aku masih belum percaya bahwa ibuku meninggal. Aku pun membuka kain yang menutupi wajahnya. Aku terkejut. Aku merasa seluruh badanku langsung lemas. Aku merasa ini semua hanya mimpi. Kucubit pipiku berkali-kali berharap bahwa ini semua hanya mimpi. Tapi, inilah kenyataannya. Aku merasa meledak. Air mataku tumpah tanpa bisa kutahan.
Aku lalu menatap wajah ibu lekat-lekat. Dia tersenyum penuh kedamaian. Tiba-tiba, berbagai ekspresi wajahnya melintas di pikiranku. Wajah dikala dia marah, ketika sedih, ketika sakit, dan berbagai ekspresi wajah lainnya. Hingga tiba ekspresi wajahnya yang muncul di dalam mimpiku. Wajah penuh senyuman, senyuman penuh kedamaian dan ketenangan.
Huh.
Huh.
Senyum itu, senyum terakhirnya untukku.
0 Komentar